PERHATIAN!! : jika ingin mengcopy cerpen ini penulis persilahkan, akan tetapi sertakan sumbernya (nama blog ini) dan sertakan nama penulis aslinya. Hal ini untuk menngapresiasi penulis aslinya dan untuk menghindari tindakan pencurian karya orang lain.
Berbeda Namun Satu
(Karya Rexana Jane Thessalonika Gultom)
Di Provinsi Sumatera Selatan, terdapat desa yang diberi nama Desa Ragam Satu. Desa tersebut diberi nama “Desa Ragam Satu” karena penduduk yang ada di sana memiliki budaya dan suku yang berbeda-beda, tetapi mereka semua tetap bersatu.
Desa tersebut terletak di pelosok Sumatera Selatan. Beragamnya budaya yang ada di sana, dikarenakan desa tersebut sempat mengalami transmigrasi penduduk. Namun, walaupun mereka memiliki budaya yang berbeda-beda, anak-anak di sana bisa berbaur satu sama lain.
Desa Ragam Satu bisa dikatakan sebagai desa yang berukuran kecil. Sudah banyak penduduknya yang angkat kaki ke kota sejak tahun 2012. Hal itu terjadi karena ada banyak penduduk kota yang datang untuk memberikan penawaran kerja mudah dan cepat di kota maupun luar negeri. Ada banyak penduduk di sana yang juga ingin merasakan indahnya kehidupan di kota, sehingga jika diberikan penawaran seperti itu, pasti banyak penduduk yang tergiur untuk mendapatkannya.
Berkurangnya jumlah penduduk di desa tersebut, menyebabkan keadaan di sana terasa sepi. Setiap malam pasti para penduduk bisa mendengarkan suara jangkrik, katak, dan hewan-hewan lainnya. Tapi tak bisa dipungkiri, bahwa suara anak-anak dipagi hari terus meramaikan Desa Ragam Satu. Apalagi, ketika mereka sedang bermain disana, canda dan tawa terus terdengar di lingkungan desa itu.
Suatu hari, anak-anak di desa itu sedang bermain bersama. Mereka adalah Brenda, Kinanti, Joko, dan Binsar. Mereka sangatlah dekat, karena sejak kecil mereka juga sudah sering bermain bersama. Pada hari itu, mereka sedang bermain ketapel dan juga layang-layang. Ketika mereka sedang bermain, Brenda berkata “Haiaa.. Aku bosen nih. Kita ganti permainan yuk. Dari pagi kita main ini terus..” Setelah ia berkata seperti itu, Joko pun menjawab, “Bentar ya, aku turunin dulu nih si layang-layang.” “Oke deh.”
Setelah Joko dan Binsar menurunkan layang-layangnya, mereka pun langsung memikirkan permainan apa yang akan mereka mainkan selanjutnya. Setelah berpikir cukup lama, Binsar berkata “Gimana kalau kita main tapak aja. Daripada bengong sana sini tak jelas.” Celetuknya dengan logat Batak yang ia miliki. “Apik pisan euy pemikiran kamu,” jawab Joko. Setelah itu mereka pun mulai menggambar kotak demi kotak di lapangan dekat dengan tempat tinggal mereka. Mereka juga menyiapkan batu-batu untuk dilemparkan ke kotak yang telah dibuat. Lalu mereka pun berkumpul di depan kotak yang pertama. “Kalian semua siap kan?” Ucap Brenda kepada teman-temannya. “Siap dong Bren” jawab Joko dan Binsar bersamaan. Beberapa detik kemudian mereka merasa bahwa ada yang kurang di tempat itu. Dan akhirnya mereka sadar, bahwa Kinanti masih tinggal di tempat di mana mereka bermain tadi.
Dengan cepat Binsar menghampiri Kinanti, “Kinanti, kau ngapain masih di sini. Cepatlah, ayok kita ke sana. Lama kali pun kau..”. Namun Kinanti masih tetap saja bengong di sana. Karena sudah kesal, Binsar pun berteriak, “KINANTIIIIII…” Sontak, Kinanti kaget dengan teriakan Binsar. Ia berteriak seperti serigala yang mengaum. “Kamu ngapain masih tinggal di sini. Ayok cepat ke sana, kita sudah mau mulai main,” ucap Binsar. “Ya maaf. Yasudah ayok kita kesana,” jawab Kinanti. Mereka pun berjalan menghampiri Joko dan Brenda yang sudah menunggu. “Kamu tuh ngapain toh Kin. Kami dah nunggu lhoo di sini,” Tanya Joko kepada Kinanti. “Ya aku juga gatau kenapa aku bengong. Hehehe,” jawab Kinanti sambil tertawa. “Haiaa.. kok kamu begitu terus ya. Aku jadi bingung liat kamu..” tanya Brenda sambil menggaruk kepalanya. “Udahlah ribut kali kalian ini. Kita ini mau main, bukan mau mengobrol,” kata Binsar di sela perbincangan teman-temannya.
Setelah itu, mereka pun mulai bermain. Berulang-ulang kali mereka bermain, mereka tetap belum bosan. Dan ketika mereka bermain, tiba-tiba “Brakk” Binsar terjatuh saat bermain. “Aduhh sakit kali ini. Ahhhh” Ucap Binsar yang meraung kesakitan. Mengetahui Binsar terjatuh, Kinanti tertawa terbahak-bahak. Namun, Brenda menyela tawa Kinanti dengan berkata, “Ssttt. Haiaa, kamu ini sudah tau teman jatuh, bukannya di tolongin. Joko, ayok kita bantu Binsar,” Merekapun membantu Binsar berdiri dari duduknya, sedangkan Kinanti hanya berdiam diri saja, dan merasa bersalah akan sikapnya tadi. “Pelan-pelan lah, sakit kali kakiku ini,” kata Binsar kepada Joko dan Brenda. Setelah mereka membantu Binsar membawa ke rumahnya, di situ Kinanti meminta Maaf. “Binsar aku minta maaf ya udah ngetawain kamu tadi. Jangan marah sama ku, nanti aku gaada temen lagi.”
“Iya, gakpapa. Tapi lain kali, jangan kau ulangi lagi ya.”
“Siap tuan Binsar.” Berhubung pada saat itu langit sudah hamper gelap, akhirnya mereka pulang ke rumah masing-masing.
Keesokan harinya, di hari Minggu, Joko dan Kinanti berkumpul di rumah Binsar, untuk menunggu Binsar pulang dari gereja. Sambil menunggu, mereka berbincang satu sama lain. “Udah deket 17 Agustus nih, tapi di desa kita, kok belum ada pengumuman lomba ya. Padahal, saudara aku yang ada di desa sebelah, sudah mulai membangun panggug loh..” Ucap Kinanti.
“Iya juga ya, kenapa desa kita selalu telat.”
“Apa desa kita kekurangan dana? Apa desa kita gak bakalan ngadain acara? Apa desa kita..”
“Sstt.. Sampeyan ini banyak tanya aja. Mendingan kita tunggu sampai ada orang yang ngasih info.”
“Hehehe. Oke Joko”
Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya Binsar dan kedua orang tuanya sampai di rumah. Dengan sopan, Joko dan Kinanti mencium tangan kedua orang tua Binsar. “Kalian sudah dari kapan di sini nak?” Tanya papa Binsar.
“Dari tadi om. Eh, maksudnya dari jam 9 om.” Jawab Kinanti, sambil tersipu malu.
“Ohhh. Kalian sudah makan belum?”
“Sudah om.”
Di sela perbincangan mereka, Mama Binsar berkata, “Sebentar ya. Ini tante punya kue, nanti kalian bawa ke rumah masing-masing ya. Kasih mama papa oke.”
“Oke tante.”
“Oke buk de.” Jawab Joko.
“Yasudah, aku ganti baju dulu ya. Tunggu di sini kalian, jangan kemana-mana.” Kata binsar kepada kedua temannya.
Beberapa saat kemudian, Binsar keluar sambil membawakan tiga kantong plastik yang berisi kue. Lalu ia memberikan kue itu kepada temannya. “Ini kuenya. Jangan lupa kasih keluarga kalian”
Melihat ada satu kantong tersisa, Kinanti pun bertanya, “Kok itu ada satu kantong lagi. Buat aku ya Binsar? Maka…”
“Diam lah kau. Ini buat si Brenda. Dia juga harus dikasih. Kau ini, maruk kali jadi orang.”
“Sampeyan iki, bikin kesal aja.” Ucap Joko kepada Kinanti.
“Ya maaf deh.”
“Yasudah ayok kita berangkat ke rumah Brenda. Dari pada di sini aja kita.” Ajak Binsar.
Lalu, Joko dan Kinanti izin kepada Mamanya Binsar dari teras, “Tante pergi dulu ya..”
“Iya. Hati-hati” Jawab mama Binsar dari dalam rumah.
Mereka bertiga langsung menuju ke rumah Brenda untuk bermain di sana. Sesampainya di sana, mereka langsung memanggil Brenda, “Brendaa…Brenda…” Akhirnya, Brenda pun keluar dari dalam rumah. Binsar, langsung memberikan kue yang dibawanya tadi “Ini kue dari mama papa aku. Jangan lupa kau kasih ke keluargamu juga ya.”
“Kamsia la Binsar. Aku suka banget sama kue ini.” Balas Brenda sambil tersenyum.
“Yasudah, hari ini kita mau main apa?” lanjut Brenda.
“Kita main kelereng saja. Aku udah bawa nih kelerengnya.” Jawab Joko.
“Ayuk kita mulai main.”
Ketika mereka bermain, tiba-tiba Pak Anwar datang menghampiri rumah Brenda. “Permisi, Brenda, papa kamu ada tidak?”
“Ada Pak. Masuk aja dulu Pak. Biar sekalian saya panggilkan.”
“Oh iya. Makasih ya.”
Pak Anwar pun masuk ke dalam rumah Brenda. Beberapa saat kemudian, Brenda keluar dari dalam rumahnya. “Pak Anwar ngapain Brenda, ketemu Papa kamu?” tanya Kinanti.
“Mungkin mau ngebahas sesuatu.”
“Apa mungkin ngebahas pesta 17 Agustus Desa kita ya?”
“Mungkin. Yasudah ayok kita mulai main. Mulai dari Binsar ya.”
Mereka mulai memainkan kelereng secara bergantian. Ketika mereka duduk santai di depan rumah Brenda, mereka mendengar perbincangan Papa Brenda dengan Pak Anwar. Mereka sadar bahwa sebentar lagi, Desa mereka akan mengadakan pesta 17 Agustus. Dan juga, sebentar lagi akan dibangun panggung di lapangan Desa tersebut. Mereka pun jadi tidak sabar untuk berpartisipasi serta turun tangan dalam acara itu. Lalu Binsar dengan spontan berkata “Pak Anwar, nanti aku sama kawan-kawan bantu-bantu ya. Ntah apa aja pun, kami bantu nanti. Ya kan kawan-kawan?”
“Iya dong” Jawab Brenda, Joko, dan Kinanti serempak.
“Boleh banget kok kalau kalian mau bantu-bantu. Nanti siang, panggungnya akan mulai di didirikan. Kalau kalian mau bantu, nanti datang saja ke lapangan ya.”
“Oke pak.” Jawab mereka.
Ketika waktu sudah menunjukkan pukul 11.50, Binsar, Brenda, Joko, dan Kinanti bergegas menuju lapangan. Sesampainya disana, mereka langsung menghampiri Pak Anwar. “Pak apa yang bisa kami bantu?” tanya Brenda.
“Kalian bantu cat patung pakaian adat yang ada di sana ya. Jangan lupa yang rapih.”
“Oke pak.”
Mereka pun menuju patung yang dimaksud, dan mulai mengecat. Ketika sedang asik mengecat, tiba-tiba cat yang dipakai oleh Kinanti tumpah ke arah Binsar. Karena hal itu, mereka berdua mulai adu mulut.
“Yaampun, Kinanti. Maksud kau itu apa? Kau buat bajuku kotor ini.”
“Maaf ya Binsar. Aku kan gak sengaja”
“Maaf, maaf. Kau lihat, patung ku jadi jelek. Sudah bagus-bagus ku buat, warnanya jadi berantakan. Apa kau ini tak senang liat baju adat suku ku?”
“Bukan begitu Binsar. Aku kan tidak sengaja menumpahkannya.”
Di tengah perdebatan mereka, Joko berkata “Sudahlah, jangan berdebat. Kan Kinanti tidak sengaja. Kamu juga, kan bisa menimpanya dengan warna yang baru. Jangan memperburuk keadaan dong.”
“Iya Binsar. Kamu jangan terbawa emosimu.”
“Kalian ini sama saja, tak ada yang mau mendukungku. Kalian pikir, adatku ini jelek? Cobalah liat Brenda, patung mu itu putih sekali. Sudah macam mayat hidup saja. Liat saja dirimu, memangnya kau pikir kau sudah cantik dengan kulit putih mu? Kau juga Kinanti, warna patung sama warna kulitmu sama saja. Tidak ada yang bagus, sama-sama hitam. Dan juga kau Joko, logat mu itu terasa sangat tidak keren. Pakaian adat mu juga, lihatlah tidak ada yang menarik. Sudahlah lihat saja kalian, aku tak mau lagi berteman dengan kalian.” Setelah itu, Binsar langsung melemparkan kuas cat nya, dan meninggalkan lapangan.
Melihat Binsar yang meninggalkan lapangan, membuat Pak Anwar kebingungan. Lalu ia menghampiri Joko, Kinanti, Brenda, dan bertanya “Kenapa Binsar tiba-tiba pergi?” Dan dari situ, Brenda menjelaskan kejadian yang sebelumnya terjadi. Ketika menjelaskan, tiba-tiba Kinanti melemparkan kuas yang ada di pegangannya, dan berlari meninggalkan lapangan.
“Waduh, kok mereka berdua jadi pergi.” Tanya Pak Anwar kebingungan.
“Yasudah pak, nanti saya sama Brenda saja yang mencoba membujuk mereka biar maafan. Maaf ya pak, jadi merepotkan” Ucap Joko karena merasa bersalah.
“Yasudah tidak apa-apa. Kalian pulang saja dulu. Makasih ya sudah mau datang. “
“Iya pak. Pergi dulu..” Jawab Brenda.
Mereka pun meninggalkan lapangan. “Yasudah Brenda, kita pulang dulu saja. Besok kita datang lagi ke rumah Binsar untuk mengajaknya meminta maaf. Sebenernya aku sedih mendengar dia berkata seperti itu. Dan setelah kejadian tadi, aku merasa kita seperti kucing garong saja. Yang bisa mengacaukan tempat, lalu meninggalkannya.”
“Ia Joko, kamu benar. Yasudah, besok kita ketemuan di rumah Binsar ya.”
“Oke” Jawab Joko.
Keesokan harinya, Joko dan Brenda sudah menunggu di depan rumah Binsar. Pagi-pagi mereka sudah kesana, untuk menyelesaikan kericuhan yang terjadi kemarin. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya ada orang yang keluar dari dalam rumah Binsar. Dan itu dalah mamanya Binsar. “Eh kalian, pagi-pagi sudah disini aja. Kok gak ngetuk pintu? Kan tante jadi gak tau.”
“Sebenernya kami ke sini mau mengajak Binsar ke rumah Kinanti tante. Tante sudah tau belum ya, kalau kemarin Binsar sama Kinanti bertengkar?” Ujar Joko.
“Tante gak tau tuh. Tapi, kemarin sih Binsar pulang dengan muka masam. Pas tante tanyain, dia bilang gapapa.”
Dari situ, akhirnya Joko dan Brenda menjelaskan keributan kemarin. Lalu mereka mengajak mamanya Binsar untuk dapat membantu mereka dalam menyelesaikan permasalahan itu.
“Oke. Tapi ingat, kita harus menyelesaikan masalah ini dengan kepala dingin ya.”
“Oke. Makasih ya tante.” Jawab mereka berdua.
“Sebentar biar tante panggil Binsar dulu ya.”
Setelah Binsar dipanggil, mereka pun langsung menuju rumah Kinanti. Binsar tampak kebingungan, ketika mamanya dan kedua temannya mengajak ia pergi. Sesampainya di rumah Kinanti, Brenda memanggil nama Kinanti dari teras rumah. Sedangkan Binsar, hatinya kembali panas, karena mengingat kejadian kemarin. Setelah beberapa saat menunggu, Kinanti akhirnya keluar. Tetapi ia tidak sendiri, melainkan bersama dengan Ibunya Kinanti. Perasaan takut sangat terpancar dari muka Kinanti. Untuk mencairkan suasana, mama Binsar berkata, “Hai Bu Lili, hai Kinanti”
“Halo juga Bu.” Jawab Ibu Kinanti. Melihat anaknya yang hanya berdiam diri, ia menyenggol kecil anaknya.
Lalu Kinanti akhirnya angkat bicara, “Hai Tante.”
“Nah gitu dong, jangan takut. Kemarin itu kalian ngapain sih di lapangan? Bantu-bantu Pak Anwar ya?”
“Iyalah mak. Aku kan dah izin kemarin waktu mau pergi.” Celetuk Binsar.
“Iya sayang. Nah kalian ngapain sih di sana?”
“Kami mengecat patung pakaian adat tante. Tapi…” Jawab Kinanti dengan rasa takut yang di pendamnya.
“Dia merusak patung pakaian adat suku kita mak. Liatlah di lapangan sana, sudah hancur.”
“Iya. Kamu jangan marah-marah dong. Liat tuh, Kinanti jadi takut kan,”
“Biarkan saja.” Jawab Binsar dengan hati panasnya.
“Nah, katanya kamu juga mengejek Joko, Brenda dan Kinanti ya?”
“Iya mak. Tapi kan karena aku kesal sama mereka.”
“Walaupun kamu kesal, kamu juga harus menahan emosi mu. Mama tau kamu marah sama mereka, tapi tetap tidak baik jika kamu mengejek satu sama lain. Apalagi menghina suku dan warna kulit mereka. Kita memiliki perbedaan dalam hal apapun. Baik itu yang ada di dalam diri kita, maupun yang ada di luar dari diri kita. Namun, jangan jadikan perbedaan itu sebagai hal yang memacu kita untuk terpecah. Kalian mengerti kan?”
“Iya tante bener banget. Dengan adanya perbedaan ini, lebih baik kita gunakan sebagai alat untuk saling melengkapi.” Brenda melanjutkan perkataan Mama Binsar.
“Iya aku setuju banget.” Lanjut Joko.
Lalu, Ibu Kinanti berkata, “Yasudah sekarang Kinanti minta maaf ya sama Binsar.”
Setelah itu, Kinanti dan Binsar akhirnya bermaaf-maafan. Mereka semua pada akhirnya dapat merayakan pesta 17 Agustus dengan penuh keceriaan. Dari permasalahan yang terjadi antara Binsar, Kinanti, Joko dan Brenda, mereka belajar untuk dapat lebih saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Karena saling menghormati tidak hanya di aplikasikan kepada orang yang lebih tua saja, melainkan dapat juga di aplikasikan kepada sesama teman.
Budaya kita memang berbeda, tapi itu tak dapat membuat hati kita berbeda dan terpecah. Karena kita tau, bahwa kita satu.
0 comments:
Post a Comment