SAHABAT
Karya : Yolanda Florentius
Aku benci padanya. Dia yang selalu saja mengikutiku dan meniruku. Kadan aku heran,kok bisa sih aku berteman dengannya? Kesal deh. Rasanya seolah-olah dia mencuri identitasku. Daripada teru-terusan begini lebih baik aku menjauhinya saja.
“Yunaa!!” Ah,pasti itu dia deh si peniru.
Dia Yena,temanku sejak duduk pertama kali di bangku SMP. Dia selalu saja mengikutiku, entah itu cara melukisku,cara bernyanyiku,idola, dan hobiku pun dia ikuti. Kemarin saja,waktu lomba melukis yang memenangkan lombanya adalah dia,bukan aku. Padahal, akulah yang mengajarinya cara untuk melukis. Itu benar-benar tidak adil bagiku.
“Kok kamu aku panggil ga jawab sih?” Tanyanya kepadaku
“Apaan sih gausah dekat-dekat deh!” jawabku ketus.
“Kamu marahn ya? Kenapa sih? Aku ada salah ya sama kamu?” Tanyanya bertubi-tubi kepadaku.
“Pokoknya mulai hari ini kamu gausah dekat-dekat aku lagi deh!”
Ia hanya terdiam saat aku membentaknya, akupun pergi meninggalkannya.
Esoknya, mulai banyak terdengar obrolan oranh-orang yang menyebut namaku dan si peniru itu.
“Lihat deh, si Yuna sama Yena kok tumben ya, ga bareng? Apa mereka lagi berantem?” seorang anak perempuan bernama Rika sedang membicarakanku dengan temanya. Kurasa ia tidak menyadari jika suaranya terdengar jelas oleh ku.
“Eh Yena, kamu lagi ada masalah sama Yuna ya?” tanya Rika pada Yena.
“Kita gaada masalah apa-apa sih,tapi dia kemarin sepertinya marah padaku,padahal aku ga tau dimana etak kesalahan ku” Jawab Yena lirih.
“ Ih kalau begitu lebih baik kamu jangan berteman dengan anak yang kayak gitu deh! Dia itu anak yang egois,sombong,bodoh pula. Mendingan kamu cari teman baru yang setara denganmu. Lagipula kamu kan anak yang baik,pintar,berbakat,popular juga! Pasti banyak deh yang mau berteman denganmu”
“ Hmm.. begitu ya? Ya sudah deh lebih baik aku cari teman baru lagi”
Setelah kejadian itu, Yena menjalani kehidupan barunya dengan teman-teman barunya,tapi tidak denganku. Teman-teman mulai menjauhiku semenjak kabar itu tersebar. Hal itu menambah kebencianku kepada Yena. Aku selalu berharap agar ia enyah saja dari dunia ini.
Dia punya banyak teman,aku tidak. Hal inipun terus berlanjut hingga aku duduk dikelas 8. Tiba-tiba ada seorang anak yang datang menghampiriku, kukira akhirnya aku mendapatkan seorang teman. Nyatanya tidak. Dia hanya memanfaatkanku saja.
Mungkin sebaiknya aku sendirian saja tanpa seorang pun teman. Tapi kemudian aku sadar, jika aku tidak punya teman maka bagaimana kehidupanku dapat berubah menjadi yang lebih baik?
Aku pun menemukan seorang teman, dia bernama Rena. Ia mau berteman denganku dan menerima semua kekuranganku. Ia juga sama denganku, sering dimanfaatkan oleh temannya. Namun setidaknya dia masih memiliki banyak teman sedangkan aku tidak.
Semakin dekat denganya,aku semakin sering menceritakan tentang Yena kepadanya. Sampai suatu ketika,dia bertanya kepadaku.
“Dari dulu aku mikirin ini, kurasa kamu selalu mencari letak kesalahnya dan selalu bersikap seperti kamu lebih dari segala-galanya. Bukankan itu tandanya kamu iri padanya? Kamu kesal karna ia terlihat lebih baik darimu kan? Padahal dia juga sering melakukan hal yang baik, tapi kamu hanya menceritakan hal-hal jeleknya kepadaku.”
Aku terdiam. Kata-katanya benar-benar menusuk hatiku. Kurasa itulah kebenarannya. Aku tahu itu,tapi tetap saja aku tidak bisa menerimanya.
“Bukankah lebih baik kalian berbaikan? Kurasa dilubuk hatimu yang paling dalam kau sudah memaafkannya kan? Kamu juga pasti masih ingin berteman dengannya kan? Jujurlah pada dirimu sendiri..”
Betul,sangat betul. Lagi-lagi perkataannya sangat tepat.
“Jika kamu mau meminta maaf kepadanya, aku mau menemanimu kok, tenang saja!”
“......”
Aku terdiam, jujur aku tidak yakin apa yang harus kuperbuat.
Apakah ia akan memaafkanku?
Bagaimana jika ia hanya mengabaikanku?
Atau apakah ia akan memarahiku?
Aku takut.
“Kalau kamu terus-menerus lari dari masalahmu, bagaimana kamu dapat menyelesaikannya? Kamu ingin terus-menerus dihantui oleh rasa bersalah? Tidak kan? Kalau begitu kau harus berani menghadapi masalahmu!”
Kata-katanya menyadarkanku. Tentu saja aku tidak boleh terus-menerus lari dari masalahku. Akan tiba saatnya aku harus menghadapinya.
“Ya... aku akan meminta maaf kepadanya”
“Mau kesana sekarang?” Tanya Rena sambari tersenyum padaku.
“Tentu” Keputusanku sudah bulat. Aku akan meminta maaf padanya.
“Ah itu dia!” seru Rena
“Yenaa!” panggiku sambil berlari kearahnya.
Saat ia menoleh, aku menundukan kepalaku. Lalu, menumpahkan semua yang ada dipikiranku. Tanpa sadar, air mata mulai mengalir dari mataku. Mungkin aku merasa lega karena berhasil menumpahkan segala beban yang selama ini tersimpan dihatiku.
Yena hanya diam melihatkuu. Aku tak tahu ekspresi apa yang dia buat. Jujur, aku tidak berani melihatnya. Keheningan pun melanda.
Setelah cukup lama, akhirnya aku berusaha untuk memecahkan keheningan tersebut.
“A-apakah kamu mau memaafkanku?” bibirku bergetar.
Takut akan kenyataan terburuk yang dapat kualami. Tapi di lubuk hatiku yang paling dalam aku ingin mendengar jawaban “Ya” dari mulutnya. Aku ingin kembali ke masa-masa dimana kami selalu tertawa bersama, bermain bersama, saling bertukar cerita. Dan sekarang, jawabannya lah yang akan menentukan semuanya.
“Ya, tentu saja aku memaafkanmu! Kita kan sahabat!” jawabnya seraya tersenyum padaku. Senyum yang dulu sering ia tampilkan kepadaku. Aku tidak bisa berkata-kata lagi tentang betapa senangnya aku saat ini.
Aku berjanji tidak akan berprasangka buruk tentangnya lagi.
Aku berjanji akan terus bersamanya.
Aku berjanji akan menemaninya dalam suka dan duka.
Aku berjanji akan menjadi sahabat yang terbaik untuknya.
Aku berjanji tidak akan pernah melanggar semua janjiku.
Karena kita adalah sahabat selamanya.
tamat
0 comments:
Post a Comment